Makassar, 28 Mei 2025 — Krisis iklim global tak hanya soal suhu bumi yang meningkat, tetapi juga menyangkut ketimpangan, krisis kesehatan, dan konflik sosial. Itulah benang merah dari diskusi bertajuk “Climate Crisis from Multiple Perspectives” yang digelar pada Rabu (28/5) oleh LPPM Universitas Hasanuddin bekerja sama dengan Center for Peace, Conflict and Democracy (CPCD) dan Thematic Research Group (TRG) Climate Change & Health, LPPM Unhas.

Diskusi yang dilakukan secara hybrid di Meeting Room A LPPM Unhas ini menghadirkan dua narasumber lintas disiplin dan internasional: Dr. Ian D. Wilson, akademisi senior dari Murdoch University, Perth, Australia, dan Dr. Sudirman Nasir, dosen senior Fakultas Kesehatan Masyarakat Unhas sekaligus Ketua TRG Climate Change & Health. Acara dimoderatori oleh Nurjannah Abdullah, dosen Ilmu Hubungan Internasional dan peneliti CPCD. Prof. Dr. Nasrum Nasri selaku Ketua LPPM Unhas memberikan pengantar pada awal diskusi dan mendorong diskusi kritis untuk mendorong penelitian yang multidisiplin yang lebih produktif ke depan. 
 
Kegiatan ini dihadiri oleh sejumlah peneliti, akademisi, jurnalis, serta aktivis NGO dari berbagai sektor yang memiliki perhatian terhadap isu krisis iklim. Dalam diskusi tersebut, para pembicara memaparkan krisis iklim dari perspektif ekonomi-politik, kesehatan masyarakat, hingga kerentanan sosial.
 
Krisis Iklim sebagai Ketidakadilan Struktural
 
Dr. Ian Wilson menyoroti krisis iklim dari sudut pandang ekonomi-politik, khususnya menyangkut distribusi risiko dan kerentanan. Menurutnya, masyarakat yang secara struktural telah terpinggirkan akibat ketimpangan sosial dan ekonomi justru menjadi kelompok yang paling terdampak oleh krisis iklim.
⁠“Kelompok marginal, yang sejak awal memiliki akses terbatas terhadap layanan dasar dan perlindungan sosial, kini menghadapi ancaman ganda dari dampak perubahan iklim,” ujar Wilson. Ia menegaskan pentingnya menjadikan keadilan iklim sebagai kerangka dalam merancang kebijakan adaptasi dan mitigasi.
Krisis Kesehatan dan Kerentanan Sosial
 
Sementara itu, Dr. Sudirman Nasir menekankan bahwa krisis iklim telah memicu krisis kesehatan, baik fisik maupun mental, terutama bagi kelompok rentan. Ia menyoroti degradasi lingkungan dan krisis air yang mendorong migrasi paksa dan potensi konflik sosial.
⁠“Sayangnya, kebijakan perubahan iklim kerap mengabaikan kesetaraan kesehatan, konteks lokal, serta keanekaragaman kerentanan,” ujar Sudirman.
Ia juga mengangkat konteks Wallacea, wilayah dengan keanekaragaman hayati, budaya, dan genetika yang unik. Menurutnya, aktivitas ekonomi yang berlebihan dan perubahan iklim mempercepat degradasi wilayah ini.
⁠“Kita perlu memperkuat ketahanan masyarakat dengan mengandalkan modal sosial yang kuat serta pendekatan berbasis komunitas,” tambahnya.
Memperkuat Kolaborasi Ilmiah dan Advokasi
 
Diskusi ini menggarisbawahi pentingnya pendekatan interdisipliner dan lintas sektor dalam menghadapi krisis iklim. Moderator Nurjannah Abdullah menyampaikan bahwa kegiatan ini bertujuan membangun ruang kolaborasi antara akademisi, pembuat kebijakan, dan masyarakat sipil untuk merumuskan strategi adaptasi yang adil dan inklusif.